BISMILLAH AR-RAHMAN AR-RAHIM

Blog ini akan menampilkan beberapa tulisan tentang apa aja yang bermanfaat. Semoga mendapat nilai tambah yang positif

FIKSI

RATAPAN SENJA


Rumah itu masih berdiri tegap. Lentera usang itu masih meliuk-liuk dihembus angin. Lampu lentera itu entah sudah putus atau arus listriknya yang bermasalah. Ya, sekarang teras rumah memang tidak dimataharikan cahaya lentera lagi. Matahari itu hanya seakan menjadi simbol bagi teras rumah itu. Meja bambu dibawahnya nampak masih segar terkapar di lantai berkeramik yang sudah berusia puluhan tahun. Kebun didepan sudah tak tampak penghuninya. Hanya tampak ilalang dan daun yang jatuh dari pohon mangga besar ditengahnya yang bahkan tak pernah dipandang. Buah-buah terakhirpun menjadi santapan tetangga yang beraksi pada malam hari. Air mancur yang semula memuncratkan air, sekarang sudah layu. Ya, itulah rumah peninggalan kakek Nia yang masih bertahan sampai sekarang.

Nia, seorang gadis remaja yang perawakannya semampai, berkulit putih bersih kuning langsat, hidungnya bagir, mulutnya tipis setipis-tipisnya, dan bola matanya bening menyejukkan siapapun yang memandangnya. Menginjak usianya ini, hidupnya sudah tidak sesejuk pancaran bola matanya.

Bisa dikatakan Masri adalah seorang pemeras, tepatnya pemeras harta laki-nya. Sudah dua kali ia kawin dan dua kali pula bercerai. Sialnya Ramda, ayah Nia menjadi sandera selanjutnya, mulai dari 16 tahun lalu. Setelah menikah, bagai campur aduk kopi pekat. Ramda, seorang pejabat jebolan SMA, repot digaji juga repot bekerja. Naluri dagangnya tinggi sehingga ia memiliki 18 perusahaan lateks di pelosok dunia.

Suami isteri itu selalu beradu mulut bak anjing dan kucing. Pertengakaran meraka melebihi kaset-kaset lagu yang laris diliris sekalipun. Peperangan mereka seperti teror bom dan letusan pistol yang menggelegar dilangit, bahkan menggelora di tanah. Jika yang satu melesat ke langit, lawannya menyelam ke perut bumi. Luka-lukanya bagai tikaman buah durian yang kelihatan tragis. Semangat bergolak menggelora, darah mencucur tanpa diperas. Nia dan adiknya hanya bisa menonton drama teater itu dan hanya mampu menangis.

Hal ini terjadi karena Masri jauh dari sopan santun dan hanya menginginkan materi. Maka, Masri pun meluncurkan jampi-jampinya demi mencapai niatnya. Ramda patuh padanya. Ramda tetap tegar seperti batu penunggu gunung, mati tenggelam dalam kesedihan. Kantong kosong melompong. Kekuasaan, gunung berapi yang dahulu meletus runtun-beruntun, sekarang sudah tiada lagi. Wibawanya sudah musnah.

Semua permintaan Masri harus diluruskan. Kini, Masri menjadi nyonya besar. Bodyguard yang mengelilinginya khusus datang hanya untuk menggemukkan diri, hampir tak ada yang dikerjakan.

Masri bisa mengubah taktik secepat geledek jika ada perlawanan. Tameng Ramda hanya diam terpaku bisu, tak bisa berkata-kata. Jadi, semua permintaan Masri harus dituruti. Sekarang, hanya tinggal seorang pemain utama, yang tidak lain adalah Masri. Mata Masri mulai tampak kemerahan,  giginya bergemeretak, jari-jarinya mengepal, terlihat asap tipis mulai menguap dari ubun-ubunnya. Dapur dipilihnya sebagai lokasi. Sesaat, dapur hanya tinggal potongan-potongan kayu dan serpihan kaca. Kompor gas penyot, untungnya pipa gasnya sudah tersumbat. Piring-piring dan gelas-gelas nacur lumat jadi bubuk, bersama pecahan kaca yang sebagian menancap di dinding dan plafon. Peristiwa ini benar-benar diluar angan-angan Nia.

Suara berantakan berlanjut. Seperti ada benda besar yang kembali dilumatkan menjadi bubuk. Ternyata vas bunga 70 cm dibanting satu persatu. Pintu ruang tamu jatuh telentang di lantai. Dinding dan lantai bergetar diiringi kaleng-kaleng yang berderang-derang.

Nia dan adiknya menangis tersedu-sedu, tak berani bersuara meminta pertolongan. Menatap rumah seseram lautan, hanya ada kilatan cahaya lilin yang ditelan belantara hitam. Malam hari menjelang subuh itu Nia hanya bisa meraung dan berdoa memesan kamar di surga. Menatap rumah seseram lautan, kilatan api sebesar lilin yang ditelan belantara hitam. Kadang ia menulis untuk menghibur dirinya sendiri, “Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan pada keluarga ini.” Itulah kalimat yang ia tuliskan selalu di tembok maupun dinding kamarnya.

Krek, Nia dengar. Nia pun keluar memata-matai apa yang terjadi. Ia melihat Masri masuk ke kamar Chelsea, adiknya. Nia kalang kabut mengambil linggis untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Sungguh pimpinan musuh dalam selimut.

Masri tergopoh-gopoh, berkacak pinggang dan kemudian membelai rambut Chelsea dan memberinya sejumlah uang jajan dan hadiah. Barulah kusadari bahwa Masri ingin menghasut Chelsea karena kakeknya mewariskan bagian terbesar padanya.

Masri tahu bahwa Nia cukup dewasa mengerti akan hal ini sehingga hasutan itu tidak mendarat padanya. Lagipula, Nia hanya mendapat sebagian kecil dari warisan itu.

Nia bergegas menarik diri dari pintu kamar. Tetapi, alangkah sialnya! Linggisnya terjatuh. Nia tersengat bagai orang gila. Masri menoleh dan memasang muka seram padanya. Tamparan langsung menempel dipipinya. Hati Nia tertembak, teriris-iris, bahkan bolong! Terlihat lima buah jari tangan menandai noda merah pada wajahnya. Parahnya, linggis yang semula dibawa Nia, diambil Masri dan ditancapkannya ke kaki Nia. Bau darah anyir mulai menyengat menyerodok hidung. Tetapi, Chelsea masih berjingkrak-jingkrak senang diberi hadiah, tidak peduli tentang keadaan Nia. Betul-betul seorang bayi besar yang hanya tahu akan hadiah dan tidak berwawasan apapun. Masri terus saja memasang muka seram denga mata mengancam. Nia bahkan tak berani berteriak kesakitan. Dengan berlinang air mata, ia masuk ke kamar dan mengobati kakinya. Untung saja Masri tidak mengejar dan menamatkan nyawanya.

Hati Nia terasa sakit, gusar dan segores luka tepat bersarang di otak tengahnya. Pipinya sejenak beranak sungai. Di kamarnya, Nia hanya ditemani jika ada berkas cahaya jingga yang merembes melalui jendelanya.

Keesokan harinya, kokok ayam jantan di perkampungan itu nyaring terdengar mengisyaratkan agar semua makhluk segera terjaga dari istirahat panjang. Nia terbangun dan melirik dari jendela, pagi-pagi sekali Masri sudah pergi dan membawa sesajen, entah untuk Chelsea atau untuk Ramda lagi. Di rumah itu, hanya Nia lah yang tidak bisa terpengaruh. Sehingga, Nia hanya menunggu untuk ditamatkan jiwanya. Nia terkapar di sudut kamar. Penyakit hati itu semakin meggerogoti hingga tak ingin lagi membuka mata. Saat ini sungguh habis-habisan. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Rasanya semua sudah diambil darinya, tidak bersih.

Malam hari, tiba adalah sebuah pesta yang dihadiri keluarga kalangan atas, bagi orang-orang berpangkat. Tentulah Ramda, Masri juga diundang. Masri membawa Chelsea bersamanya. Sedangkan Nia disuruh menjadi anjing penjaga rumah. Tetapi, Nia tidak tinggal diam, ia pergi dengan bersembunyi dibagasi mobil. Nia memang sudah lama ingin keluar, menceritakan hal yang terjadi ataupun kabur untuk selamanya.

Cuaca saat itu indah. Matahari mulai terbenam menghiasi langit yang nerwarna jingga kemerahan. Jalanan masih mengkilap dibasahasi gerimis hujan pagi tadi. Bulan separuh baya mulai menampakkan belangnya tetapi lambat malas menyapu awan dan matahari yang siap menenggelamkan diri.

Setelah melewati jalan demi jalan, gang demi gang dan terpanggang oleh lebatnya semak belukar hutan dan pepohonan. Akhirnya, gedung-gedung beratap rumbia sudah tak kelihatan lagi, mulai kelihatan gedung-gedung pencakar langit.

Sesampainya digedung, mereka pun masuk, ya, kecuali Nia yang sedang bersaha keluar dari bagasi mobil. Selama, pesta berlangsung, Nia mengamati ruang pesta dari depan. Aroma rendangnya menyengat hidung, tetapi Nia coba menahan laparnya dan mengigit jari. Nia Cuma bisa duduk menopang dagu. Sedangkan kedua tangannya memeluk kedua kakinya yang ditopangnya didekapan dadanya. Gerobak pembawa drum berisi rendang tambahan didorong masuk menunggu untuk dihidangkan. Bau bumbu rendang semakin menyegat, mengetarkan bulu hidung, jantung, bahkan aliran darahnya. Tanpa disadari, Nia menjilat-jilat kedua bibirnya secara bergantian. Bersamaan dengan itu pula angannya mulai berlabuh. Rendang memang makanan kesukaan Nia. Kemudian, Nia pun mengumpulkan bercarik-carik keberanian untuk masuk ke ruangan. Nia segera bersembunyi agar tidak kelihatan Masri dan pasukannya. Disana, Nia merasakan rendang yang enaknya bukan main!. Bumbunya, pedasnya pas dan terserap kedalam urat-urat dagingnya. 20 menit kemudian, “dup” lampu ruangan mati. Pintu ruangan pesta terbuka. Asap menggelayut keluar disapu angin. Terlihat percikan-percikan api. Ternyata terjadi kebakaran! Gempa teriakan bertalu-talu. Sepotong kayu membara sebagai senjata, memuncratkan si jago api. Nia yang merangkak dikegelapan berusaha menggapai pintu yang berwarna kelabu itu untuk keluar dan mendobraknya sekuat tenga guna menyelamatkan diri. Nia lah orang yang pertama keluar dengan selamat. Lalu terlihat, Ramda, Masri, Chelsea dan 10 pengusaha lainnya berusaha melolong keluar. Nia masih berusaha bersembunyi. Mereka lecet-lecet, gayanya lenggak-lenggok. Wajah mereka seram. Baju beludru mewah kini jadi compang-camping, kotor, dan berlepotan darah. Chelsea muntah-muntah penuh ketakutan. Asap terus menggepul. Dua pot besar hancur sehancur-hancurnya. Semua barang-barang logam gosong mejadi arang. Entah bagaimana nasib manusia-manusia didalamnya.

Polisi, pemadam kebakaran dan mobil ambulans lalu mendarat di lokasi. Semua yang selamat diboyong ke rumah sakit sebab luka-luka. Dan hanya Nia lah yang layak menjadi saksi pertama atas kejadian itu. Masri terkejut disambar petir melihat Nia mulai bercakap dengan polisi. Tak bisa bersuara.

Kebakaran itu telah menghentikan nafas 555 orang. Yang selamat 14 orang, termasuk Nia. Dua hari setelah kasut itu diusut selesai, Nia pun menceritakan masalah dirumahnya kepada polisi. Masri mencoba kabur terbirit-birit. Tetapi aparat polisi menahan Masri dan menyeretnya untuk mendekam di jeruji besi.

Walaupun kepergian Masri belum bisa menghilangkan pengaruhnya pada Ramda dan Chelsea. Tetapi, setidaknya Nia lebih tenang melewati hari-harinya tanpa bayangan setan pengamuk.