BISMILLAH AR-RAHMAN AR-RAHIM

Blog ini akan menampilkan beberapa tulisan tentang apa aja yang bermanfaat. Semoga mendapat nilai tambah yang positif

Sabtu, 27 Maret 2010

BIMBINGAN DAN KONSELING (BK) DAN MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH (MPMBS)


Salah satu issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling
Bahwa berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS.

Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3) Konselor Sebagai Agen Informasi 


1. Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor


Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif dan inovatif.

Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.

Dengan hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional.

Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu disiapkan untuk menuju ke arah profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi seorang profesional.

Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.

Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling.

Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar, penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini. Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan untuk berusaha menuntut ilmu melalui jenjang pendidikan formal.

Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih beragam, baik dilihat dari program studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang berlatar belakang pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya untuk berusaha menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi. Sementara, bagi kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang pendidikan bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada salahnya pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang mantap dan memadai.

Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan teori yang ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek yang telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada praktek konseling sebelumnya.

Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek konseling ke praktek konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan pencatatan terhadap apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah. Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan tuntutan profesionalisme.


2. Akuntabilitas Kerja Konselor


Pada masa sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas konselor.

Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stakeholder) dalam bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.

Bagaimanapun masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.

Dengan adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk menerima berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak mengenakkan.
Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki hal-hal seperti itu. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya. Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik


3.  Konselor Sebagai Agen Informasi


Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.

Karena, bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu” tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize, karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program Data Sis dan Program Alat Ungkap Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif, konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.

Hal yang perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa kepada pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun, konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang berkenaan dengan “prinsip kerahasiaan konseli “ harus tetap dijaga sebaik mungkin.

Dalam mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin sangat kurang.

Satu hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team work tersebut.

Demikianlah, uraian sederhana yang dapat saya sampaikan dan semoga bermanfaat adanya, khususnya bagi kemajuan dan peningkatan mutu layanan


ON LINE DAN TELEPHONE BASED COUNSELLING; NEEDS, PROBLEM AND ETHICAL ISSUES


A.     PENDAHULUAN.

Perkembangan global yang semakin pesat khususnya dibidang teknologi komunikasi memberikan pengaruh terhadap pelayanan dan bimbingan konseling. Konseling tidak hanya melalui proses tatap muka tetapi lebih dari itu dengan menggunakan media komunikasi seperti telepon, internet, e-mail, chat rooms dan video. Sebagai sesuatu yang baru yang dapat mengikuti kecepatan dan keefektifan komunikasi lewat internet dan merupakan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan konseli. Demikian pun konseli, dapat memperoleh informasi dalam ruang lingkup yang luas.
Perkembangan ini tentunya menuntut kesiapan dan adaptasi para konselor dalam penguasaan teknologi di dalam melaksanakan bimbingan konseling. Konselor dituntut memiliki kompetensi agar mampu menerima inovasi baru tanpa melupakan pemberian layanan yang tradisional. Hal ini membawa profesi konseling dalam posisi layanan yang terbuka, interdipenden dan interconnected. Diversifikasi kebutuhan konseling akan semakin lebar, target populasi layanan semakin luas dan bervariasi, tujuan konseling semakin berorientasi pada perkembangan dalam konteks atau sistem untuk jangka panjang, strategi intervensi akan banyak bernuansa teknologi dan lingkup layanan menjadi semakin luas dan beragam. Kecenderungan ini menuntut konseling untuk mengembangkan diversifikasi respon, program dan strategi intervensi, ragam layanan profesional dan spektrum konselor yang harus dipersiapkan.

B.     INTERNET DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau sering disebut ICT (Information and Communication Technology) menghadirkan tantangan baru bagi praktisi bimbingan dan konseling. Teknologi informasi dan komunikasi lebih cenderung pada eksploitasi peran dan fungsi dari Teknologi Komputer. Berbicara ICT berarti berbicara komputer baik pemanfaatannya, peran dan fungsinya dalam kehidupan. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya relevansi yang harus dilakukan oleh para prkatisi Bimbingan dan Konseling untuk menjawab tantangan ini. Keterampilan konselor atau praktisi bimbingan dan konseling dalam menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, merupakan salah satu wujud profesionalitas kerja konselor dalam pelaksanaan program layanan.
Teknologi informasi dan komunikasi merupakan media dalam pelaksanaan program layanan bukan tujuan layanan, maka pemanfaatannya hanya sebagai media untuk melakukan pendekatan-pendekatan, pemberian informasi, promosi, konsultasi dan masih banyak lagi. Untuk hasil yang memuaskan maka konselor diharapkan dapat berperan sebagai operator dan memahami fungsi dan peran teknologi dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan kegiatan training atau pelatihan baik personal maupun kolektif secara rutin diharapkan keterampilan-keretampilan tersebut dalam dipeoleh dalam waktu singkat.
Berkaitan dengan pemanfataan ICT (Information and Communication Technology) tulisan ini akan mencoba mengkaji pemanfaatan komputer berbasis internet sebagai media layanan bimbingan dan konseling.
Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari teknologi komputer dalam menunjang profesionalitas kerja konselor, maka konselor perlu mengetahui potensi apa yang terkandung pada teknologi komputer. Sampson , Kolodinsky, & Greeno 1997 menyatakan setidaknya ada 8 (delapan) potensi teknologi komputer berbasis internet yaitu: email/surat elektronik, potensi penggunaan oleh konselor antara lain: untuk terapi, marketing, screening, client therapist, surat menyurat untuk penjadwalan atau janji, monitoring inter-sessions, transfer rekaman klien, referral, masukan pekerjaan rumah, penelitian dan collegial professional. (Bowman & Bowman, 1998). Website/homepage potensi penggunaan oleh konselor antara lain, untuk pemasaran/periklanan, diseminasi informasi, dan publikasi. Komputer video conference potensi penggunaan oleh konselor antara lain untuk therapy, pekerjaan rumah, referral dan konsultasi. Sistem buletin/listservs/newsgroups potensi penggunaan oleh konselor antara lain untuk konsultasi; referral /alih tangan kasus, sumber daya untuk informasi; dan kegiatan asosiasi professional. (Bowman & Bowman, 1998). Simulasi terkomputerisasi potensi penggunaan oleh konselor antara lain untuk supervisi dan pelatihan kompetensi.
pangkalan data / FTP (File Transfer Protocol). Situs potensi penggunaan oleh konselor antara lain, untuk penelitian, sumber informasi bagi therapist, sumber informasi perpustakaan, transfer rekaman klien, penilaian dan analisis. Chatroom/electronic dicussion groups potensi penggunaan oleh konselor antara lain, untuk terapi kelompok, membantu diri sendiri dan reinforcement (dukungan/pengukuhan). Software potensi penggunaan oleh konselor antara lain, untuk pelatihan keterampilan dan keahlian, bantuan diri sendiri, dan pelatihan keterampilan pekerjaan rumah, dan pekerjaan rumah. Dari beberapa potensi penggunaan komputer berbasis internet diatas maka konselor dapat melakukan berbagai inovasi layanan bimbingan dan konseling dengan memanfaatkan potensi tersebut, tentu dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan konselor.
Mode penyampaian paling baru yang mulai terbentuk adalah konseling via-email. Ada konselor dan kelompok pendukung yang mengiklankan layanan mereka di internet, diberbagai  macam home page, dan konseli dari negara mana saja dimungkinkan untuk mengakses konselor yang ada di seluruh dunia pada siang atau malam hari. 

1.  Internet Definition (Definisi Internet)
Interconnected Network atau yang lebih populer dengan sebutan Internet adalah sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer-komputer dan jaringan-jaringan komputer di seluruh dunia. Internet bisa memberikan informasi yang sifatnya mendidik, positif dan bermanfaat bagi ummat manusia. tapi juga bisa dijadikan sebagai lahan kejelekan dan kemaksiatan. Hanya etika, mental dan keimanan masing-masinglah yang menentukan batas-batasnya apakah anda ingin menjadi seorang netter, hacker atau craker.

2.  Internet Fundamentals (Dasar-dasar Internet)
Dalam dunia internet ada istilah yang dikenal dengan browshing yakni kegiatan menjelajah dalam dunia maya untuk mencari informasi. Browsing merupakan kegiatan mencari informasi dengan fasilitas bantu yang disebut Browser. Istilah kedua adalah Search Engine atau mesin pencari merupakan sebuah situs yang membantu mencari informasi diinternet. Istilah ketiga adalah Chatting yakni kegiatan diskusi atau percakapan yang dilakukan dalam dunia maya.
  1. Browser adalah “alat pemandu menjelajah internet” yang akan mengantar anda malakukan berbagai aktivitas di internet “dunia maya”. Program standar penjelajah internet yang biasa kita pakai adalah Internet Explorer, karena pada dasarnya internet explorer merupakan bagian dari paket program sistem operasi windows, sebenarnya masih banyak web browser lain yang dapat anda gunakan walaupun cara pemakaiannya sama.
  2. Search Engine atau mesin pencari merupakan sebuah situs yang membantu mencari informasi diinternet. Hanya dengan mencantumkan sebuah keyword atau kata kunci secara otomatis search engine akan mencari dan menyajikan semua informasi yang mengandung kata tersebut kepada user atau pengguna. Untuk mengakses situs search engine dalam dilakukan dengan menggunakan fasilitas browser. Dalam dunia internet ada satu search engine yang sangat populer digunakan yaitu “google”.
  3. Chatting atau layanan IRC (Internet Relay Chat), atau biasa disebut sebagai “chat” saja adalah sebuah bentuk komunikasi di intenet yang menggunakan sarana baris-baris tulisan yang diketikkan melalui keyboard. Dalam sebuah sesi chat, komnunikasi terjalin melalui saling bertukar pesan-pesan singkat. kegiatan ini disebut chatting dan pelakunya disebut sebagai chatter. Para chatter dapat saling berkomunikasi secara berkelompok dalam suatu chat room dengan membicarakan topik tertentu atau berpindah ke modus private untuk mengobrol berdua saja dengan chatter lain. Kegiatan chatting membutuhkan software yang disebut IRC Client, diantaranya yang paling populer adalah software mIRC. Ada juga beberapa variasi lain dari IRC, misalnya apa yang dikenal sebagai MUD (Multi-User Dungeon atau Multi-User Dimension). Berbeda dengan IRC yang hanya menampung obrolan, aplikasi pada MUD jauh lebih fleksibel dan luas. MUD lebih mirip seperti sebuah dunia virtual (virtual world) dimana para penggunanya dapat saling berinteraksi seperti halnya pada dunia nyata, misalnya dengan melakukan kegiatan tukar menukar fileatau meninggalkan pesan. Karenanya, selainuntuk bersenang-senang, MUD juga sering dipakai oleh komunitas ilmiah serta untuk kepentingan pendidikan (misalnya untuk memfasilitasi kegiatan kuliah jarak jauh). Yahoo merupakan salah satu situs yang menyediakan fasilitas chatting yang cukup terkenal yakni yahoo messenger dengan softwarenya ymsr. Dengan fitur yang lebih lengkap seperti display foto, kamera (cam) dan suara (voice).

Dari berbagai uraian diatas maka seorang konselor dapat melakukan berbagai inovasi layanan bimbingan dan konseling dengan memanfaatkan internet. Konselor mungkin dapat memulainya dengan merancang sebuah bentuk layanan yang berbasis internet kemudian menuangkannya dalam satuan layanan dan mengaplikasikannya.
Beberapa keunggulan dari konseling e-mail:
  1. Terdapat catatan permanan seluruh kontak konseling (Hal ini berguna bagi klien dan juga konselor dan supervisor konseling)
  2. Mengetik adalah cara efektif untuk ”mengeksternalisasikan masalah”
  3. Mengetik membantu seseorang untuk merefleksikan pengalaman mereka.
  4. Ketidakseimbangan kekuatan berkurang – Internet merupakan medium egaliterian.
  5. Klien dapat mengekspresikan perasaan mereka ”saat ini juga”, mereka dapat menulis pesan e-mail saat berada di tengah depresi atau serangan panik, ketimbang menunggu datangnya sesi konseling verikutnya.

Dewasa ini, penggunaan internet telah merasuk pada hampir semua aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, pendidikan, hiburan, bahkan keagamaan. Kita dapat mengetahui berita-berita teraktual hanya dengan mengklik situs-situs berita diweb. Demikian pula dengan kurs mata uang atau perkembangan di lantai bursa, internet dapat menyajikannya lebih cepat dari media manapun. Para akademisimerupakan salah satupihak yangpaling diuntungkan dengan kemunculaninternet. Aneka referensi, jurnal, maupun hasil penelitian yang dipublikasikan melalui internet tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Para mahasiswa tidak lagi perlu mengaduk-aduk buku di perpustakaan sebagai bahan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Cukup dengan memanfaatkan search engine, materi-materi yang relevan dapat segera ditemukan. Selain menghemat tenaga dalam mencarinya, materi-materi yang dapat ditemui diinternet cenderung lebih up-to-date.
Buku-buku teks konvensional memiliki rentang waktu antara proses penulisan, penerbitan, sampai ke tahap pemasaran. Kalau ada perbaikan maupun tambahan, itu akan dimuat dalam edisi cetak ulangnya, dan itu jelas membutuhkan waktu. Kendala semacam ini nyaris tidak ditemui dalam publikasi materi ilmiah di internet mengingat meng-upload sebuah halaman web tidaklah sesulit menerbitkan sebuah buku. Akibatnya, materi ilmiah yang diterbitkan melalui internet cenderung lebih aktual dibandingkan yang diterbitkan dalam bentuk buku konvensional. Kelebihan sarana internet yang tidak mengenal batas geografis juga menjadikan internet sebagai sarana yang ideal untuk melakukan kegiatan belajar jarak jauh, baik melalui kursus tertulis maupun perkuliahan. Tentu saja ini menambah panjang daftar keuntungan bagi mereka yang memang ingin maju dengan memanfaatkan sarana internet.
Bagi mereka yang gemar bersosialisasi atau mencari sahabat, internet menawarkan berjuta kesempatan. Baik melalui email maupun chatroom, para pengguna internet dapat menjalin komunikasi dengan rekan-rekannya di segala penjuru dunia dalam waktu singkat dan biaya yang relatif murah. Apabila dalam surat menyurat konvensional yang menggunakan jasa pos, sebuah surat bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu dalam perjalanan lintas benua, maka sebuah email hanya membutuhkan hitungan detik untuk dapat menjangkau segala sudut dunia.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya internet dapat menimbulkan suasana yang berbeda dalam menjalin hubungan antara konselor dengan klien. Tapi internet hanya sebatas alat atau media dalam penyelenggaraan layanan bimbingan konseling bukan sebagai tujuan, maka konselor juga perlu memperhatikan efektifitas penggunaannya. Keberhasilan layanan yang diberikan amat tergantung dari keterampilan konselor dalam mengelola layanan bimbingan dan konseling.
Baru saat ini teknologi internet menjadikan konseling via e-mail dan terapi internet menjadi mungkin. Dalam banyak hal, mode konseling ini memiliki potensi yang sama besar dengan konseling telephone atau bahkan lebih. Walaupun sulit untuk diprediksi kapan model ini akan berevolusi dan berkembang, tetapi hampir dapat dipastikan internet akan menjadi sumber utama bagi para konselor dan psikoterapist dalam beberapa tahun kemudian, seiring dengan semakin murahnya teknologi, semakin mudah diakses dan semakin mudah digunakan.

C. TELEPHONE DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING.

Dalam kerangka jumlah kontak konseli yang dilakukan tiap tahun, konseling telepon melakukan konseling ketimbang konseling manapun juga. Walaupun nilai penting konseling telepon sebagai cara untuk memenuhi tuntutan publik terhadap dukungan emosional, akan tetapi hanya sedikit upaya yang dipersembahkan untuk teori dan riset dalam bidang ini. Tugas menyediakan bantuan konseling melalui telepon memunculkan beberapa pertanyaan mendasar. Dengan cara apa tekhnik dan pendekatan konseling harus dimodifikasi. Apakah konselor telepon memiliki kebutuhan pelatihan dan dukungan yang berbeda. Masalah apa yang sesuai untuk dipecahkan melalui konseling telepon dan masalah apa yang menuntut kontak langsung dengan konselor.
Kondisi konseling telepon membuatnya sulit untuk mengevaluasi manfaat yang mungkin didapat oleh penelpon. Dalam studi yang melontarkan pertanyaan kepada konseli, terkadang di awal percakapan telepon, terkadang di akhir yang dilakukan untuk menilai kepuasan mereka, lebih dari dua pertiga para klien tersebut menyatakan level kepuasan yang tinggi. Tipe perilaku konselor yang dianggap para penelpon membantu adalah mengerti, peduli, mendengar, menawarkan umpan balik, menunjukan sikap positif, menerima dan terus berfokus pada masalah serta memberikan saran. Perilaku konselor ini mirip dengan intervensi konselor dalam konseling langsung.
Walaupun demikian, terdapat satu dimensi proses penting yang tampaknya membuat konseling telepon berbeda dengan konseling. Lester (1974) telah menyatakan bahwa konseling telepon merupakan situasi yang meningkatkan tranference positif yang dirasakan oleh penelpon. Penolong dengan wajah yang tidak diketahui tersebut sudah dianggap oleh penelpon. Penolong dengan wajah yang tidak diketahuitersebut sudah dianggap sebagai sosok ideal dan dapat diimajinasikan menjadi sesuatu atau sosok yang diinginkan penelpon. Grumet (1979) mengungkapkan elemen dari wawancara telepon yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan intimasi: privasi visual, bibir pembicara yang dirasakan sangat dekat dengan telinga si pendengar, dan level kontrol yang tinggi terhadap situasi yang ada. Rosenbaun (1974) telah menulis ”Dering telepon secara simbolis mempresantasikan tangisan bayi dan akan ada respon yang segera, dengan demikian suara saya sendiri menjadi sama dengan respons segera seseorang ibu”.
Salah satu konsekwensi transference positif yang ditemukan konseling telepon adalah menjadikan penelpon toleran terhadap kesalahan yang dibuat oleh kesalahan konselor. Delfin (1978) mencatat konseli meresespons beberapa tipe pertanyaan yang dibuat oleh konselor telepon. Terungkap bahwa para klien tampaknya bereaksi secara positif terhadap respon konselor yang dipandang oleh para pengamat terlatih sebagai klise atau tidak akurat.
Sebagian besar agensi konseling telepon didukung oleh pekerja sukarela paruh waktu yang hanya menerima pelatihan dan supervisi yang sangat terbatas, terlepas dari meningkatnya jumlah line bentuan via telepon yang bersifat komersial. Kualitas dan kehadiran personal konselor dalam kerja via telepon lebih penting ketimbang keterampilan teknis. Sebagian besar klien memiliki satu kontak dengan konselor individu mana saja, karena itu beberapa kompleksitas bentuk konseling lain saperti rencana aksi, mengatasi resistensi untuk merubah dan membangun aliansi teraupetik, tidak muncul dalam tingkatan yang sama. Di sisi lain, konselor telepon dituntut untuk bekerja cepat, fleksibel serta intuitif, dan mampu berhadapan dengan kebisuan.
Telepon hoax dan seks didasarkan pada keterampilan yang sangat jarang digunakan dalam konseling bertatap muka. Konselor telephon diminta untuk masuk ke dalam dunia pribadi dari seseorang yang sebenarnya tengah dalam krisis dan karena itu menyajikan emosi yang kuat. Konselor telepon tidak hanya terlibat dalam tipe kerja yang berpotensi kasar dan menakutkan, mereka juga kurang bertanggungjawab menerima umpan balik atas hasil dari usaha mereka. Tingkat keluar masuk karyawan dari kelelahan dalam agensi konseling telepon dan tersedianya dukungan dan supervisi yang mencukupi, merupakan topik yang membutuhkan perhatian, yang menuntut studi riset lebih jauh.
Dari sudut pandang penelpon atau klien, konseling telepon memiliki dua keunggulan utama dibandingkan dengan terapi langsung: akses dan kontrol. Jauh lebih mudah mengangkat telepon dan berbicara langsung dengan konselor ketimbanbang membuat janji untuk mengunjungi agensi konseling pada suatu waktu di mingu depan. Dengan demikian, konseling telepon memilki fungsi preventif dengan menawarkan layanan kepada orang yang tidak akan menyerahkan diri mereka sendiri kepada proses memohon bentuk bantuan lain, atau yang kesulitanya belum mencapai tahap lanjut. Terlebih lagi, orang-orang memiliki ambivalensi dalam mencari bantuan bagi masalah psikologis. Telephon meletakan konseli dalam posisi kekuatan dan kontrol, mampu membuat kontak dan kemudian memutuskan hubungan tersebut sesuai dengan keinginannya.